Oleh Arda Dinata
Email: arda.dinata@gmail.com
Abu Darda sahabat Rasulullah saw, usianya sudah sangat tua. Aktivitas sehari-harinya tidak terlepas dari kegiatan bertani dan bercocok tanam. Suatu hari lewat seseorang di depannya. Saat itu Abu Darda sedang menanam pohon asam. Berkatalah orang itu, “Mengapa kamu menanam pohon itu? Kamu kan sudah lanjut usia, padahal pohon itu akan berbuah dalam rentang waktu amat lama?” Apa jawab Abu Darda? “Saya hanya mengharap pahalanya, dan biarlah orang lain yang memakan buahnya,” jawabnya.
Kisah tersebut, telah memberikan banyak inspirasi dan pelajaran bagi mereka yang mampu menangkapnya. Berkait dengan berwirausaha, setidaknya dari kisah itu ada dua pesan yang bisa kita tangkap. Pertama, setiap kita hendaknya dapat mengaktualisasikan diri dalam hidup ini. Kedua, melalui pemberdayaan diri maka kita akan memproleh kesuksesan di kemudian hari. Sukses tidak lain dimaknai sebagai sesuatu yang dapat dinikmati oleh sendiri dan orang lain.
Dalam berwirausha, ada hal yang patut disadari oleh pelaku wirausaha, diantarnya adalah berupa karunia Illahi. Pada diri manusia, setidaknya ada empat karunia Illhi yang patut diberdayakan yaitu kesadaran diri, suara hati, imajinasi kreatif dan kebebasan memilih dan memiliki. Modal ini apabila dapat kita fungsikan secara benar dan tepat, tentu akan membuahkan kesuksesan dalam hidup (termasuk dalam berwirusaha).
Kalau kita sadar, seprti diakui Tatty SB Amran (1997), hidup memang proses memilih dimana sikap dasar menuju sukses ada tiga langkah: (1) Berani melangkah –memilih untuk mengambil langkah---, (2) Rela melakukan the extra mile –memilih untuk melakukan kegiatan yang memberikan hasil optimal, dan berkorban untuk mencapai hasil terbaik--; (3) Selalu bersikap inside-out ---memilih untuk internalisasi yaitu mengapa mencari di luar kendali, jika bisa mendapatkan yang dalam jangkauan diri sendiri--.
Bagi sosok wiraushawan sejati, langkah tersebut jelas-jelas akan berdampak pada kesuksesan rajutan dari tampilan aktulisasi diri dalam berwirausaha. Dan kalau diruntut, ternyata aktulisasi diri ini muncul merupakan hasil dari proses belajar yang tiada henti tentang berbagai hal.
Dengan aktivitas belajar secara terus menerus tentang kewirausahan, maka seorang wiraushawan tentu diharapkan akan terjadi pergeseran sikap mental dan perilaku wirausaha dari mentalitas ingin menjadi worker society bergeser pada “employee.”
Adapun perbedan antara worker dan “employee” adalah:
1. Employee itu terus menerus mengembangkan kemampuannya, sedangkan worker menggunkan siklls yang relatif tetap.
2. Employee itu dapat memutuskan apa yang harus dilakukannya pada mesin, sedangkan apa yang dilakukan worker ditentukan mesin.
3. Employee itu pada dasarnya tidak diawasi, hanya perlu “span of responsibility,” sedangkan worker hanya harus diawasi melalui “span of control” sepanjang garis organisasi.
4. Employee itu memiliki means of production, yaitu informasi, sedangkan worker tidak memilikinya.
Aktualisasi Diri
Dewasa ini dunia wirausha dan bisnis terus mengalami perubahan yang ditandai oleh beberapa karkteristik, diantaranya berubah secara dinamis, elmen lingkungan wirausha berinteraksi secara kompleks, membentuk globalisasi dalam kelompok-kelompok dan menghadapi kendala lingkungan hidup (baca: sumber dya alam).
Kenyataan tersebut, tentu harus disikapi dengan kesadaran diri atas kemampuan mengaktulisasikan segala potensi yang telah dikarunikan Allah Swt pada diri manusia. Sejalan dengan ini, H.D. Sudjana (1993) melihat pentingnya pendekatan aktulisasi diri pada diri seseorang.
Pendekatan tersebut, menurut Sudjana didasarkan atas pandangan bahwa orang memiliki potensi atau kemampun di dalam dirinya untuk berkembang. Kemampuan diri itu harus diidentifikasi untuk kemudian diaktualisasikan sehingga kemampuan itu akan berguna bagi kemajuan kehidupannya. Pendekatan aktualissi diri ini mempunyai empat ciri, yaitu Pertama, proses aktualissi diri bertolak dari dan ditimbulkan oleh diri sendiri. Kedua, belajar melalui pasangan belajar. Ketiga, membantu munculnya konsep diri yang positif pada diri sendiri warga belajar. Keempat, mengembangkan daya imajinasi dan kreativitas.
Dengan melalui keempat pendekatan tersebut, maka akan menghantarkan seorang wirausahawan pada puncak kemandirian usahanya. Dalam konteks ini, Lilly H. Setiono (2002) mengungkapkan bahwa untuk menjadi seorang wirausahawan mandiri, ada tiga jenis modal utama yang mesti dimilikinya.
(1) Sumber daya internal yang merupakan bagian dari pribadi calon wirausahawan, misalnya kepintaran, ketrampilan, kemampuan menganalisa dan menghitung risiko, keberanin atau visi jauh ke depan.
(2). Sumber daya eksternal, mislnya uang yang cukup untuk membiayai modal usaha (baca: tidak akan memposisikan berapa besarnya uang sebgai modal usaha, tapi lebih pada kreativitas-Pen) dan modal kerja, social network dan jalur demand/supply, dan lainnya.
(3) Faktor x, misalnya kesempatan dan keberuntungan.
Akhirnya, seorang calon usahawan harus menghitung dengan seksama, apakah ketiga sumber daya tersebut ia miliki sebagai modal. Jika faktor-faktor itu dimilikinya, maka ia akan mencapai aktualissi diri yang menghantarkan pada kemandirian usahanya. Lebih-lebih hal ini didukung dengan usaha maksimal dalam mengembangkan karunia Illahi yang telah ada dalam pribadi seseorang. Wallahu’alam.***
Arda Dinata, adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.